Ta’aruf = Semi Pacaran(?)

Terkadang, dengan niat awal untuk ta’aruf, sebagian pria terjebak dalam aksi-aksi yang menjurus ke bentuk pacaran yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Pertama diawali dengan bertemu muka, dan mengobrol seadanya, dengan ditemani mahram. Lalu pertemuan itu diulang hingga beberapa kali, dengan alasan untuk semakin mengenal pasangannya. Lalu kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan tanpa ditemani mahram. Itu pun awalnya, hanya memperbincangkan hal-hal yang serius, yang betul-betul penting. Namun kemudian mereka ngobrol betulan. Memang, masih dengan tetap mengenakan hijab, tapi obrolan sudah tidak terkontrol, dan terjadilah saling memandang yang diharamkan itu. Dan sudah pasti, terjadi juga berdua-duaan yang juga tak dibenarkan dalam Islam. Semua itu terjadi secara mengalir begitu saja. Mereka tidak berniat pacaran, tapi akhirnya terjebak juga dalam simbol-simbolnya. Itulah maka saya suka menyebutnya sebagai ‘semi pacaran’.

Hal-hal yang terjadi di luar kesadaran, biasanya relatif terkesan natural, sehingga kesan mengalirnya lebih jelas, dan membuat orang lupa memikirkan berbagai hal. Tapi sudah seharusnya setiap muslim dan muslimah tetap ingat bahwa ta’aruf adalah proses menuju pernikahan. Sementara pernikahan itu sendiri adalah lembaga yang suci. Setiap hal yang suci harus dimulai dari kesucian. Kalau saat memulainya saja seseorang sudah berani melanggar aturan-aturan Allah, sudah menodai makna menikah menjadi bagian dari aktivitas maksiat, maka bisalah ditebak bagaimana rumah tangga yang tercipta dari gaya berta’aruf seperti itu.

“Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang luhur dan mulia, serta membenci hal-hal yang rendah dan hina.” (Dirwiayatkan oleh Ath-Thobraanie, dinyatakan shohih oleh Al-Albaani dalam Shohiehu ‘l-Jaami’ dengan nomor 1890. Arti ungkapan, “..hal-hal yang luhur dan mulia…” adalah akhlak yang disyariatkan serta karakter yang terbentuk oleh ajaran agama.)

Mata kita mungkin saja digelapkan oleh gemerlap dunia, keindahan syahwat, atau hiburan nafsu. Tapi persoalannya, kita masih punya iman. Nurani kita amat mengetahui adanya kecenderungan nafsu yang mulai merambati jiwa kita. Naluri jahat bisa saja membungkus dosa dan maksiat dengan jubah kebenaran, menutupi kekeliruan dan kesalahan dengan selimut syariat yang Maha Bijaksana. Tapi fitrah dan nurani yang sehat, yang masih berisi iman, selalu saja mengetahui tipu daya itu. Hanya persoalannya, kita mengabaikannya atau tidak.

Yang sering terjadi, sebagian kita mengabaikan begitu saja peringatan hati nurani tersebut. Kita sudah mengetahui batasan yang ada, tapi sengaja kita tabrak. Kita sudah tahu adab dan etika dalam berta’aruf, etika dan aturan Islam terhadap lawan jenis yang bukan mahram, yang baru saja hendak kita ajak berkenalan sebagai calon pasangan kita, tapi kemudian kita abaikan semua etika tersebut.

Bagi kalangan muda mudi, mengobrol dengan lawan jenis memang seringkali menggoda. Oh ya, ternyata bukan hanya muda-mudi saja. Sebagian kalangan yang sudah cukup berumur tapi terlambat menikah, atau bisa jadi orang yang sudah beristri dan ingin mengenal wanita lain sebagai calon keduanya, ternyata juga sering tergoda untuk menikmati obrolan dengan wanita bukan mahramnya tersebut.

Maksud hati hanya ingin mengenal lebih jauh, justru mereka terjebak untuk bermaksiat lebih jauh. Tawaran maksiat itu terlalu indah untuk tidak dinikmati, terutama bila hati sudah tertembus panah iblis. Yah, berbagai alasan bisa saja digulirkan untuk setidaknya mengaburkan kesan-kesan dosa pada aksi-aksi tersebut. Seolah-olah segala aksi maksiat itu akan begitu saja terabaikan, selama niat dan tujuannya adalah baik, selama keinginannya adalah menikah dengan cara yang disyariatkan, dengan wanita yang dianggap ‘shalihah’. Bukankah itu yang disebut Al-Ghaayatu tubarrirul wasielah, ‘tujuan yang baik itu bisa menghalalkan segala cara,’ yang notabene adalah motto kalangan modernis dan sekuler?

Saya yakin mereka tidak berniat seperti itu. Ini hanya soal begitu mudahnya seseorang itu tergoda bermaksiat, ketika tawaran-tawaran maksiat itu begitu memikat hati, apalagi kalau sudah soal hubungan dengan lawan jenis. Tapi akan menjadi sangat ironis ketika itu terjadi dalam penerapan sebuah kebiasaan yang dianggap paling sesuai dengan panduan syariat. Sungguh merupakan kenyataan yang ironis, jika itu terjadi, saat kita sedang berhadapan dengan budaya-budaya multidimensional, gaya hidup yang sudah terkotori oleh pemikiran kaum kafir, dan kita datang dengan alternatif budaya Islam, yang salah satunya diwakili oleh ta’aruf. Saya hanya kembali menegaskan, jangan biarkan kebiasaan baik ini akhirnya ternoda oleh aplikasi yang kebablasan itu.

sumber http://fatamedia.wordpress.com/

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Dapatkan yang lebih

Wirausaha Kontak Jodoh Mobil Bekas

TERIMA KASIH JIKA MAU MENGISI


PENGUNJUNG BUL;AN INI

BROWSER YANG KAMU PAKE ADALAH


KONVERSI TAHUN HIJRIYAH


MUNDUR

TARTIL SUNNIYA

FACEBOOK SAYA

radio online

Kajian.Net

.

KONSULTASI SMS

INGIN BERTANYA DAN KONSULTASI KEAGAMAAN
SILAHKAN KIRIM SMS PERTANYAAN DENGAN FORMAT
TANYA#ISI PERTANYAAN / KONSULTASI
KIRIM KE 083847729252
INSYA ALLAH DIBALAS

G R A T I S

Text Widget

EBOOK BARU "Gratis"

EBOOK BARU "Gratis"
SEKUNTUM BUNGAN UNTUKMU

Popular Posts

DOWNLOAD GRATIS

DOWNLOAD GRATIS
EBOOK,SOFTWARE,APPLIKASI,DOKUMEN