Tetapi jika direnungkan dengan mendalam, mungkin benar seandainya dikatakan bahwa ungkapan satunya perkataan dan perbaualan adalah kunci untuk meluruskan segala perilaku yang bengkok. Dfengan kata lain perilaku yang tidak baik atau peri laku yang menimbulkan permasalahan, ben- cana atau kerugian sumbernya adalah tidak ada satunya perkataan dan perbuatan.
Hal ini membuktikan bahwa mewujudkan satunya kata dan perbuatan dalam kehidupan ter-nyata tidak mudah. Misalnya, seorang Ketua RT sewaktu dilapori bahwa di wilayahnya terjadi pencurian, maka serta-merta ketua RT berkata di depan rapat RT "Saudara-saudara marilah kita berantas pencurian di wilayah kita, jangan biarkan pencurian merajalela di wilayah RT kita. Saudara-saudara marilah kita menjadi pelopor memerangi pencurian!" Tahunya Pak ketua RT adalah koruptor kelas kakap di kantornya. Sedangkan pencuri di wilayahnya hanyalah pencuri kelas jemuran baju, itupun hanya celana dalam ronxbeng\
Pertanyaan yang menggelitik masih tetap "Dapatkah satunya . perkataan dan perbuatan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari?", atau "Dapatkah satunya perkataan dan perbuatan menjadi sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?" Hal inilah sebenarnya yang sangat diharapkan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini, yang tengah menghadapi berbagai krisis, terutama krisis moral bangsanya.
Mencuri, korupsi, menipu dan perbuatan tercela lainnya dipandang bukan aib lagi. Perilaku inilah yang meruntuhkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Menegakkan kembali harkat dan martabat bangsa
SATUNYA perkataan dan perbuatan bukanlah hanya sekedar pemeo. melainkan harus benar-benar diwujudkan dalam kehidupan bangsa.Indonesia. Karena ungkapan tersebut maknanya adalah jujur atau kejujuran, yaitu menyatakan sesuatu yang benar itu benar dan sesuatu yang salah itu salah.
Menyatakan sesuatu yang baik itu baik dan sesuatu yang buruk itu buruk. Ungkapan tersebut juga bermakna sebagai nilai tentang benar dan salah atau tentang baik dan buruk.
Jadi ungkapan tersebut sebenarnya secara filsafati dinamakan etika atau moral, yaitu ketentuan-ketentuan yang disepakati sebagai aturan atau ukuran menilai sikap dan peri laku manusia sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota bangsa dan sebagai anggota negara. Supaya setiap anggota dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, baik dalam masyarakat, bangsa maupun negara dapat memahami apakah tindakannya benar atau salah, apakah tindakannya baik atau buruk.
Mengatakan sesuatu sesuai dengan yang diperbuat atau berbuat sesuatu sesuai dengan yang dikatakan menunjukkan "nilai" atau "martabat" seseorang. Seperti "nilai" barang, misalnya emas nilainya lebih tinggi dibandingkan loyang. Seseorangyangjujur maka martabat atau nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang tidak jujur (pembohong).
Demikian pula dalam komunitas masyarakat, bangsa atau negara jika anggota-anggotanya sudah tidak memiliki kejujuran, sudah tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, tidak mengetahui apa yang benar danapa yang salah, maka masyarakat, bangsa dan negara tersebut sudah tidak bermartabat, sudah tidak ada nilainya.
Dalam kehidupan bersama jika anggota-anggotanya tidak lagi berpegang pada etika, pada moral sebagai tatanan, atau kehidupan bersama tanpa tatanan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka masyarakat, bangsa dan negara itu tidak bermartabat lagi.
Kehidupan bersama dalam masyarakat, bangsa dan negara tersebut sudah tidak mempunyai ikatan yang dihormati oleh para anggotanya. Para anggotanya hidup semaunya, seenaknya menurut selera masing-masing atau tidak beretika dan bermoral. Dampaknya tentu saja masyarakat, bangsa dan negara tersebut bercerai berai.
Ungkapan satunya perkataan dan perbuatan atau sebaliknya berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang dikatakan memiliki inti makna yang mendalam. Ungkapan terse- but menjadi kunci dalam penyelenggaraan kehidupan bersama atau menjadi landasan sikap dan peri laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Membangun bangsa
KETIKA bangsa Indonesia bergerak memperjuangkan lemer-dekaan dan setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdeka-annya, tingkat perjuangan bangsa Indonsia baru sampai pada "mengantar rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia". Perjuangan masih cukup panjang karena bangsa Indonesia harus melangkah lebih maju memasuki negara Indonesia yang merdeka.
Di dalam negara Indonesia yang merdeka, bangsa Indonesia masih harus berjuang supaya -rakyat Indonesia mencapai kehidupan yang benar-benar merdeka, benar-benar berdaulat dan benar-benar sejahtera secara adil, seperti yang diamanatkan oleh cita-cita bangsa "mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Pada zaman Presiden Sukarno, yang dinamakan Orde Lama, di-dengungkanlah nation and character building atau pembangunan bangsa dan karakter bangsa, itu tidak salah. Pada zaman Presiden Suharto, zaman orde baru, didengungkan pula pembangunanmanusia Indonesia seutuhnya ini juga tidak salah. Sedangkan pada zaman reformasi yang didengungkan adalah demokratisasi atau mnegakkan kehidupan bangsa yang demokratis. Hal ini juga tidak salah karena negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat.
Kesalahan terletak, pada tidak diwujudkannya ungkapan perkataan tersebut menjadi perbuatan secara nyata dalam kehidupan. Ungkapan-ungkapan perkataan tersebut hanyalah slogan-slogan belaka, tidak diwujudkan secara nyata dalam "kehidupan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia yang berkarakter belum pernah ter-wu-jud, karena bangsa Indonesia hanya dicekoki dan disuapi dengan slogan.
Bangsa yang berkarakter belum pernah terwujud. Manusia yang "utuh, yang dibangun baik lahirnya maupun batinnya, belum pernah* terwujud. Kehidupan rakyat yang demokratis juga belum pernah terwujud. Katanya kehidupan rakyat yang demokratis masih dalam proses. Tetapi dalam kehidupan nyata prosesnya justru lebih banyak ke arah anarkhi.
Mengapa hal ini semua terjadi? Sekalilagi. karena semuanya berhenti pada slogan, pada perkataan, bukan diwujudkan dalam perbuatan. Untuk mengatasi semuanya itu bergegaslah delapan atau sembilan menteri ditugasi menggarap pembangunan karakter bangsa yang telah didengungkan lebih dari 50 tahun yang lalu oleh Bung Karno.
Jika sembilan menteri di Republik yang kita cintai ini hanya menggagas slogan, hanya mengolah kata-kata, mendefinisikan perkataan maka hasilnya setali tiga uang. Maka gemparlah di negara kita yang sedang mengalami gejolak yang tidak kunjung selesai. Ada yang mengamini, ada yang acuh tak acuh dan ada pula yang berlari ingin mencari posisi paling depan. Politisi, pendidik, pengajar, agamawan, budayawan dan seniman semuanya berbicara. Tetapi semuanya berhenti sampai pada pembicaraan saja.
Membangun karakter bukan mengajarkan untuk menghafalkan kata-kata, menghafalkan definisi, menghafalkan puluhan butir nilai-nilai, melainkan secara nyata harus mengajarkan seseorang untukbersikap dan berperi laku atau berbuat. Mengajarkan bersikap dan berperilaku haruslah dengan contoh, dengan teladan.
Contoh dan teladan itu bukan perkataan melainkan perbuatan. Jika ditelusur lebih lanjut, siapakah yang harus memberi contoh dan teladan? Untuk mudahnya, orangtua harus memberikan contoh dan teladan kepada anaknya; guru memberikan contoh dan teladan kepada muridnya p-mimpin memberikan contoh dan teladan1 kepada rakyatnya atau kepada umatnya. Semua itu pada tataran perbuatan, sikap dan perilaku, bukan hanya dalam perkataan.
Jika orangtuanya tidak jujur apakah anaknya akan menjadi seorang yangjujur? Kalau gurunya tidak jujur mungkinkah membuahkan anak didik yang jujur? Demikian pula seorang pemimpin yang tidak jujur tentunya tidak mungkin diharapkan rakyatnya dan umatnya menjadi rakyat dan umat yangjujur.
Maka dalam membangun bangsa dan karakter bangsa kuncinya terletak pada harus adanya tokoh panutan yang berkarakter, dimulai dari orangtua yang berkarakter, guru yang berkarakter dan pemimpin yang berkarakter pula. Percuma upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa tanpa dimulai dengan membangun karakter orangtua, guru dan pemimpinnya.
Pertanyaannya sekarang siapakah yang akan membangun karakter para orangtua, guru dan para pemimpin?
Jawabannya mudah. Para orang-lua, guru dan para pemimpin sendirilah yang harus bertekad membangun karakter dirinya sehingga patut dijadikan teladan bagi anak, murid dan rakyat serta umatnya. Sekali lagi menjawab hanya dengan perkataan mudah, tetapi menjawab dengan mewujudkan dalam perbuatan nyata sehingga para orangtua, guru dan para pemimpin itu benar-benar dapat dijadikan teladan tidaklah mudah.
Susah mencari orangtua, guru dan pemimpin yang rendah hati, mau mengakui kesalahannya atau kekhilafannya, bersedia memperbaiki kekeliruannya dan berani meminta maaf. Tidak mudah mencari orangtua. guru dan pemimpin yang mau bercermin diri, melihat kekurangannya dan kemudian maumemperbaiki serta memperbarui kekurangannya itu. Bukankah inti makna reformasi adalah pembaruan, yaitu mem-perbarui kekuarangan dan ke-salahan yang lalu.
Sangat mudah sekarang ini mendapatkan seseorang, apakah la seorang anak, murid, rakyat dan umat, ataukah ia seorang oranglua. guru dan pemimpin yang congkak, merasa paling pintar, merasa paling benar, tidak mau disalahkan apalagi mau meminta maaf serta tentu saja sikapnya keras kepala dan lebih suka menggurui orang lain dari pada belajar dari orang lain.
Pada tingkat bangsa, generasi sekarang ini lebih cenderung dan lebih mudah menyalahkan dari pada menghormati dan menghargai generasi terdahulunya. Maaf saja, generasi sekarang ini lebih banyak yang menyatakan dirinya pelaku sejarah yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah bangsa. Padahal jasanya kepada bangsa dan negara belum sebesar rambut dibelah tujuh dibandingkan dengan para pejuang bangsa yang telah mengantar rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan kebangsaan.
Generasi sekarang sebagai penerus perjuangan belum selesai tugas dan tanggungjawabnya, oleh karena itu belum saatnya pula kita menilai jasa diri sendiri. Generasi yang akan datanglah yang menilai jasa kita.
Hal ini tidak berarti kita menge cilkan perjuangan generasi sekarang, melainkan marilah kita bangun jejaring benang emas yang menjalin perjuangan bangsa dari generasi ke generasi secara berkelanjutan. Generasi yang sekarang tidak mungkin ada tanpa perjuangan generasi yang mendahu-luinya.
Sebagai generasi sekarang marilah kita buang jauh-jauh sifat buruk kita, yang hanya pandai menyanjung diri sendiri tetapi enggan menghormati dan menghargai perjuangan generasi terdahulu. Mungkin dengan sikap dan peri laku seperti ini, kita akan -mampu membangun bangsa dan karakter bangsa Indonesia, serta mampu mewujudkan keterpurukan bangsa Indonesia menuju kejayaannya. Marilah kita bertekad bulat membangun bangsa Indonesia. (Hernowo Hadiwonggo. LPPKB)
0 komentar:
Posting Komentar